Yang menjajah kita dulu bukan cuma senjata, tapi suara dari orang yang kita percaya.
Siapa yang Bicara, Menentukan Siapa yang Kita Ikuti
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) datang ke Nusantara bukan dengan bendera perang. Mereka datang membawa dagangan, kontrak, dan sesuatu yang jauh lebih kuat dari senjata: narasi.
Dan narasi itu tidak mereka sampaikan sendiri.
Mereka menyewa suara yang sudah didengar orang sejak lama: tokoh lokal.
Bangsawan. Raja kecil. Kepala adat.
Yang dari luar tampak seperti kolaborasi, ternyata adalah strategi akuisisi pasar paling halus dalam sejarah kolonialisme Belanda.
Yang menyampaikan janji bukan Belanda, tapi orang yang dihormati di kampung sendiri. Dan di situlah kekuatan utama VOC di Indonesia bekerja: menguasai lewat kepercayaan.
Siapa Amangkurat II dan Kenapa Ia Penting?

Sultan Amangkurat II naik tahta Mataram setelah kematian ayahnya, Amangkurat I, di tengah kekacauan besar: pemberontakan Trunajaya. Mataram goyah. Tentara tercerai-berai. Wilayah lepas satu per satu.
Dalam keadaan ini, Amangkurat II tak bisa mengandalkan kekuatan sendiri. Maka dia menandatangani perjanjian dengan VOC pada 1677, dikenal sebagai Perjanjian Jepara.
Sebagai imbalan atas bantuan militer VOC melawan Trunajaya, ia menyerahkan hak atas pelabuhan, wilayah pesisir, bahkan pendapatan kerajaan.
Di atas kertas, ini disebut “kerja sama.”
Tapi secara struktural, ini awal dari taktik penjajahan VOC atas jantung ekonomi Jawa.
Dan narasinya disampaikan bukan oleh Belanda, tapi oleh Sultan sendiri.
Orang yang dihormati, dipercaya, dan diikuti rakyatnya.
Strategi Influencer Abad ke-17
VOC paham satu prinsip marketing yang masih berlaku sampai hari ini:
People buy from those they trust.
Maka daripada memaksakan kuasa lewat kekerasan, mereka merangkul orang yang sudah dipercaya. Hasilnya lebih awet, lebih efektif, dan lebih mengakar.
VOC membangun strategi dengan pola yang sangat modern:
- Elite lokal sebagai Key Opinion Leader (KOL):
Bukan VOC yang bicara ke rakyat, tapi Amangkurat II, Sultan Haji, atau raja-raja Maluku. Mereka bicara atas nama VOC, menyampaikan bahwa ini semua “demi stabilitas dan dagang yang damai.” - Perjanjian = Brand Collaboration:
Tapi, seperti banyak brand collab zaman sekarang, yang satu kehilangan aset, yang satu pegang kendali penuh. - Reward = Loyalty Program:
Gelar, pelabuhan, senjata. Semakin tunduk, semakin banyak keuntungan. Semakin melawan, semakin disingkirkan. - Surat dalam bahasa lokal = Content Localization:
Ribuan dokumen VOC ditulis dalam bahasa Jawa, Melayu, Bugis. Supaya pesan diterima dengan hangat. Supaya dominasi dibungkus sebagai kerja sama.
Argumen dan Analisis Berdasarkan Data
VOC & Kekuatan Influencer Lokal
Contoh paling kuat adalah Sultan Amangkurat II, tapi pola ini juga terjadi di luar Jawa:
- Di Ternate, VOC menjalin perjanjian dengan Sultan setempat untuk mengamankan monopoli rempah.
- Di Yogyakarta, Perjanjian Giyanti (1755) memecah Kesultanan Mataram dan memperkuat kontrol Belanda atas dua kerajaan hasil pecahan tersebut.
Semua ini bekerja karena rakyat percaya pada tokoh mereka. Dan ketika tokoh itu bilang “ini kerja sama,” maka penjajahan terlihat seperti kemitraan.
Narasi Kolaboratif yang Menipu
VOC selalu menyatakan bahwa mereka bukan penjajah, tapi pedagang. Mereka datang dengan bahasa dagang, membawa kontrak yang tampak adil. Tapi di baliknya, VOC menyusun dominasi bertahap:
- Mengatur harga.
- Mengontrol wilayah.
- Mengikat penguasa lokal dalam perjanjian sepihak.
Inilah framing kolonial klasik: “kami bukan ancaman, kami mitra.”
Data Kuat sebagai Landasan
- SEA Treaties – Arsip VOC di Indonesia menyimpan dokumen asli berbagai perjanjian dengan elite lokal.
- Perjanjian Giyanti – Wikipedia menguraikan bagaimana VOC memperkuat kontrolnya lewat pecah belah kekuasaan Jawa.
- UNESCO VOC Archives PDF mendokumentasikan lebih dari 25 juta halaman arsip VOC yang membuktikan bagaimana narasi dan komunikasi lokal dipakai untuk kepentingan kolonial.
Insight
Bahkan di era sebelum internet, VOC paham betul satu prinsip dasar marketing:
Orang membeli dari mereka yang mereka percaya.
Dalam konteks penjajahan, “trust” bukan dibangun lewat reputasi produk, tapi lewat suara elite lokal.
Dan dalam setiap kasus dari Amangkurat II hingga Sultan Haji kita lihat bagaimana pengaruh itu dijadikan kendaraan untuk menciptakan dominasi.
VOC tidak menjajah sendirian. Mereka mengiklankan penjajahan lewat tokoh lokal!
Baca Juga: KOL vs Influencer: Mana yang Lebih Efektif untuk Branding Bisnis?
Kesimpulan
Marketing bukan saja soal jualan produk. Tapi soal mengelola persepsi dan membangun pengaruh.
Strategi memakai sosok yang dipercaya sudah terbukti berhasil sejak ratusan tahun lalu.
Hari ini, KOL dan influencer tetap jadi jembatan paling efektif antara brand dan audiens.
Bukan tren sesaat, tapi strategi lama yang terus relevan.
Pertanyaannya: sudah sejauh mana kamu manfaatin kekuatan itu untuk brand-mu?
Karena di tengah banjir konten, orang gak selalu percaya apa yang kamu bilang.
Tapi mereka akan mendengar dengan baik-baik… kalau yang ngomong adalah orang yang mereka percaya.

Clara is a KOL Specialist at Olakses with 4 years of experience in the industry. She specializes in building and managing impactful collaborations with key opinion leaders, ensuring brand messages resonate effectively with target audiences. Clara’s strategic approach and relationship management skills drive successful campaigns.