Di malam yang dingin, desainer grafis Olakses bernama Marwan membuka Instagram. Di feed-nya, ia melihat sebuah animasi bergaya Studio Ghibli, begitu halus, penuh detail, dan jujur saja, sangat indah. Tapi caption-nya menampar perasaannya:
“ChatGPT when another Studio Ghibli request comes in.”
Animasi itu dihasilkan oleh AI. Hanya dari prompt. Hanya butuh waktu satu menit.
Marwan terdiam. Bukan karena kagum. Tapi karena perih.
Bukan Menolak Teknologi, Tapi Menolak Ketidakpedulian
Sebagai desainer yang pernah menggunakan AI untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan, Marwan tidak asing dengan betapa membantu dan praktisnya teknologi ini.
Ia pun mengakui, ada momen di mana tools AI terasa seperti “jalan ninja tercepat” dalam menyelesaikan desain.
Tapi ada garis batas yang tidak bisa ia abaikan.
“Ghibli bukan sekadar style,” katanya suatu kali. “Itu karya hidup. Dibuat dengan tangan, dibentuk oleh visi, dibakar oleh semangat.”
Saat seseorang bisa dengan santainya mengetikkan “generate Ghibli-style animation”, Marwan merasa ada yang direduksi. Bukan hanya seni visualnya, tapi jiwa dari karya itu sendiri.
Karya yang Diciptakan Seumur Hidup, Kini Direduksi Jadi Satu Menit
Bayangkan seseorang seperti Hayao Miyazaki. Seorang pria tua yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menciptakan dunia-dunia magis yang hidup di hati jutaan orang. Ia menggambar frame demi frame, menyisipkan nilai, dan menghadirkan rasa.
Lalu kini, semua itu bisa dihasilkan dalam 60 detik. Tanpa rasa. Tanpa luka. Tanpa mimpi yang gagal berkali-kali.
“This old man spent and dedicated his entire life to making this masterpiece, dan AI bisa buat dalam waktu kurang lebih 1 menit. It’s hurting.”
– tulis Marwan dalam Instagram story-nya.
Refleksi dan Pengakuan
Marwan tidak bersembunyi dari masa lalunya. Ia mengakui pernah menggunakan AI-generated images untuk kebutuhan profesional. Tapi kini ia paham bahwa dalam setiap gambar yang instan itu, ada bagian dari empati yang perlahan hilang.
“Saya pernah generate gambar-gambar AI untuk pekerjaan. And I feel sorry. Saya menyesal dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada para kreator.”
Bukan karena salah memakai teknologi. Tapi karena kini ia sadar, ia pernah ikut mempercepat erosi terhadap nilai sebuah proses.
Penutup: Gunakan AI, Tapi Jangan Lupakan Rasa
Teknologi generatif adalah alat. Ia bisa membantu. Tapi saat alat itu digunakan tanpa empati, tanpa penghargaan terhadap karya dan penciptanya, di situlah ia berubah menjadi ancaman.
Bijaklah menggunakan AI.
Gunakan untuk memperkuat kreativitas, bukan memotong proses sesuka hati.
Gunakan untuk membantu, bukan menggantikan perjuangan seniman yang sudah lebih dulu hadir.
Karena AI bisa meniru bentuk. Tapi tak akan pernah bisa melukis luka, cinta, dan kelelahan yang tertanam dalam karya manusia.
Marwan menyadari, mungkin kita tidak bisa menghentikan perubahan. Tapi kita masih bisa memilih: untuk tetap berkarya dengan rasa, dan menghargai mereka yang duluan menanamkannya.

Bram is an SEO Specialist at Olakses with a background in Software Engineering and 10 years of experience in the field. His technical expertise and in-depth understanding of search engine algorithms enable him to develop strategies that drive organic growth and improve website performance