Contacts
Get in touch
Close
google veo 3

Ngomongin Google Veo 3 dan Kenapa Kita Harus Lebih Kritis Menyikapinya

Akhir-akhir ini, di feed kita, entah itu TikTok, Reels, Twitter, atau bahkan LinkedIn, isinya cuma satu: Google Veo 3.

Semua orang ngomongin, semua orang nge-share, semua orang takjub.

Katanya ini adalah teknologi video AI paling canggih saat ini. Bisa bikin video sinematik dari teks. 1080p.

Gerakannya halus. Komposisinya cantik. Kayak nonton trailer film yang belum pernah ada, tapi bisa lo bikin sendiri hanya lewat prompt.

Keren? Jelas. Kagum? Wajib. Tapi… sebentar.

Apa semua ini bikin kita lebih dekat sama makna yang ingin kita sampaikan, atau malah makin jauh?


Veo 3 dan Kekaguman Massal yang Tak Dipertanyakan

Setiap kali teknologi baru muncul, selalu ada momen kagum berjamaah. Kita sama-sama geleng-geleng liat demo video yang “gila banget”. Tapi di balik kekaguman itu, ada pertanyaan penting yang sering kita lewatin: “Sebenernya, kita butuh ini buat apa?”

Apakah teknologi ini hadir sebagai solusi? Atau cuma sensasi?

Google Veo 3 emang punya kemampuan yang bikin rahang jatuh:

  1. Paham konteks visual
  2. Bisa interpretasi prompt dengan lebih presisi
  3. Hasilin video sinematik yang nyaris setara produksi profesional

Tapi mari kita mundur selangkah. Tanya lagi: siapa yang benar-benar akan menggunakan ini dengan tepat guna?


Teknologi Tanpa Jiwa: Risiko Era Video Generatif

Bayangin lo punya alat segokil Veo. Lo bisa bikin apa aja: kampanye iklan, teaser produk, bahkan fiksi mini dalam bentuk sinematik.

Tapi tanpa narasi yang kuat, hasilnya cuma satu: konten keren tapi kosong.

Ini masalah besar di dunia kreatif hari ini. Banyak brand dan kreator kejar tampilan, tapi lupa rasa. Lupa bahwa cerita lah yang bikin orang peduli, bukan efek visual.

Teknologi bisa bantu, tapi dia nggak akan pernah gantiin intuisi manusia buat nyentuh hati penonton. Veo 3 bisa bikin adegan perang luar angkasa, tapi nggak bisa bikin kita peduli siapa yang kalah atau menang di dalamnya.


Bukan Anti AI, Tapi Pro Narasi

Ini bukan soal nolak teknologi. Kita bukan dinosaurus yang takut perubahan. Tapi kita juga bukan cheerleader teknologi yang setiap update langsung tepuk tangan.

Kita pro-narasi!

Dan itu artinya, kita percaya bahwa di atas semua tools, yang terpenting adalah cerita yang punya jiwa.

Jadi, sebelum lo buru-buru rebranding jadi “sutradara AI”, tanyain dulu: apa yang pengen lo ceritain? Apa yang pengen lo buat orang rasain?

Karena kalau semua orang punya alat yang sama, yang membedakan hanyalah isi kepala dan isi hati.


Jalan Tengah: Teknologi Sebagai Amplifier, Bukan Pengganti

Gue percaya Veo 3 bisa jadi alat yang powerful banget kalau kita tahu cara pakainya.

  • Buat kreator: jangan cuma belajar prompt, tapi dalemin storytelling.
  • Buat tim konten: jangan asal visual keren, tapi pastiin ada benang merah rasa.
  • Buat brand: jangan cuma ikut tren, tapi refleksiin apakah ini bikin pesan lo makin nyampe atau malah terdistraksi.

Teknologi harus jadi ampli buat ide dan rasa, bukan gantiin dua hal itu.


Penutup: Jangan Takut Ketinggalan Tools, Takutlah Kehilangan Makna

Di tengah hype Veo 3, mari kita tahan diri sejenak. Bukan buat nyinyir. Tapi buat berpikir. Karena yang bikin konten punya dampak bukan resolusinya, tapi relasinya sama penonton.

Dan selama kita masih pegang cerita, rasa, dan suara, kita nggak akan pernah ketinggalan.

Punya opini soal Veo atau video AI generatif? Drop insight lo, karena masa depan konten bukan cuma soal teknologi tapi soal manusia yang menggunakannya.