Contacts
Get in touch
Close
kuah bajigur

Branding Natural ala Kuah Bajigur Butek: Gak Estetik, Tapi Autentik

Lo pernah mikir gak sih… kenapa tukang bajigur di pinggir jalan itu selalu jualan kuah yang kelihatan butek?

Gak bening. Gak estetik. Bahkan kalau difoto, mungkin kalah jauh dari iced latte-nya anak Senopati.

Tapi anehnya, tiap sore, ada aja yang beli. Termasuk gue.

Sampai suatu hari, gue nanya ke tukang bajigur langganan,
“Mang, kuahnya kok butek sih? Bukannya kalau bening lebih enak diliat?”

Dia jawab santai, sambil terus aduk kuah panas:
“Bajigur mah nuansanya emang butek, Mas. Kalau nuansa bening mah lagunya Vidi Aldiano.”

 

Segelas Butek yang Menghangatkan Dada

Gue seruput pelan bajigur itu. Hangatnya langsung nyusup dari tenggorokan ke dada.
Ada rasa gurih dari santan, manis legit dari gula aren yang karamel banget, dan hentakan pedas halus dari irisan jahe yang gak lebay.
Di ujung lidah, ada pahit tipis-tipis yang bikin rasa ini gak sekadar manis doang, tapi dalam. Kaya dan punya depth.

Dan setiap tegukan itu kayak bilang,

“Gue gak kinclong, tapi gue bikin lo rileks.”

Foto Bajigur Nikmat. Sumber foto IndonesiaKaya.com

 

 

Budaya Visual Menyilaukan, Tapi Isinya Kosong

Kita hidup di era yang makin gila sama tampilan.
Feed harus mulus. Landing page harus aesthetic.
Iklan harus clean. Semua harus terlihat “premium”.

Tapi, apakah semuanya punya isi?

Coba lo lihat produk-produk hari ini.
Banyak yang tampilannya “bening”, tapi isinya hambar. Gak ada value. Gak ada cerita.

Dan yang lebih parah: gak ada rasa.


Foto Bajigur. Sumber IndonesiaKaya.com


Bajigur Butek: Manifesto Kejujuran Branding

Buteknya bajigur itu bukan kelemahan. Tapi konsistensi terhadap akar.
Dia gak ikut tren. Gak nyari validasi dari likes atau engagement rate.
Yang dia tahu: resep turun-temurun ini butek karena santan, gula aren, dan jahe.
Dan di situlah justru rasa yang dicari orang.

Bukan packaging-nya yang bikin nagih. Tapi kejujuran rasanya.

Brand Modern Bisa Belajar dari Gerobak Tua

Lo punya bisnis? Lo marketer? Lo founder?
Coba tanya ke diri lo sendiri:

“Gue lagi bangun brand yang bening-bening aja, atau yang punya rasa?”

Karena hari ini, banyak brand yang rela “memoles citra” demi dilirik.
Tapi di balik itu, mereka jual produk yang dangkal, janji yang kosong, dan komunikasi yang gak ngena.

Sementara si Mang bajigur?
Dia gak pernah rebranding. Gak pernah ganti logo.
Tapi tiap sore, pelanggannya tetap datang.

Karena Branding yang Baik Itu Gak Selalu Kinclong. Tapi Konsisten.

Mang bajigur ngajarin satu hal:
Authenticity > Aesthetics.

Butek? Ya. Tapi punya cerita. Punya alasan. Punya karakter.
Dan justru karena itulah, dia bisa bertahan.

Kalau Brand Lo Harus Bening Biar Dipercaya, Mungkin Masalahnya Bukan di Warna. Tapi di Isinya.

Jangan salahkan kenapa audience gak engage.
Mungkin mereka udah terlalu sering minum “air bening” yang gak ada rasanya.

Jadi, mau tetap ngejar bening, atau mulai bikin rasa yang butek tapi jujur?

Karena dalam dunia yang serba pencitraan,
yang paling nempel justru yang gak takut tampil apa adanya.